Lepas dari semua itu, ada sisi menarik yang perlu saya kemukakan di sini berkenaan dengan sejarah lahirnya emping melinjo sampai akhirnya menjadi ilmu yang bisa ditularkan ke berbagai daerah secara gratis, bahkan dikenal sampai manca negara.
Masyarakat tahu, Desa Sukaratu Kecamatan Cikeusal, Kabupaten Serang memang dikenal sebagai sentra kerajinan emping melinjo, dan di desa ini pula pertama kali emping melinjo dibuat sekitar satu abad yang lalu.
Kini ribuan pengrajin emping tersebar di berbagai kecamatan di kabupaten Serang, bahkan telah merambah ke berbagai daerah seperti Pandeglang, Rangkas Bitung dan luar Jawa.
Sisi humanis yang tidak bisa diremehkan dari emping melinjo adalah keterlibatan ribuan wanita desa yang begitu tekun menggeluti kerajinan jenis krupuk gurih ini. Sektor ini sesungguhnya telah membuka ruang usaha bagi para ibu rumah tangga untuk membantu suami menambah penghasilan keluarga.
Emping melinjo telah menarik perhatian banyak orang. Masyarakat dari berbagai daerah merasa penasaran dan ingin mempelajari tehnik membuat emping yang tampaknya sangat sederhana namun tidak mudah dipraktekkan. Dari Desa Sukaratu ilmu emping menyebar ke mana-mana. Para pengrajin saling berbagi ilmu kepada yang lain.
Ada cerita menarik di tahun 1980-an, ketika sejumlah pengrajin emping dari Sukaratu diundang ke Pemrov Banten untuk membagikan ilmunya kepada pegawai di sana. Banten saat itu memang dikenal penghasil biji melinjo, namun penduduk di sana tidak bisa membuat emping. Berawal dari transfer ilmu emping itulah kini banyak warga Banten yang pandai membuat emping.
Ilmu emping adalah ilmu terbuka dan bisa dipelajari siapa saja. Dari dulu sampai sekarang penemuan kerajinan emping melinjo tidak pernah dipatenkan. Ilmu ini sudah menjadi milik masyarakat dan berkembang secara sporadis selama beberapa dekade karena adanya semangat masyarakat para pengrajin untuk berbagi ilmu.
Persoalan apakah para pengrajin bisa hidup makmur atau tidak, itu merupakan persoalan yang berdiri sendiri. Yang pasti, temuan kerajinan emping telah memberi kontribusi positif bagi masyarakat sehingga mereka tergerak untuk mengenali potensi alam di sekelilingnya.
Sebelum kerajinan emping dikembangkan, pada awalnya biji melinjo adalah makhluk yang tak berguna. Di Sukaratu sendiri, biji melinjo konon dulu hanya dijadikan mainan anak-anak gembala.
Di luar Jawa biji melinjo nyaris tidak ada harganya dan tercecer sia-sia di hutan belantara. Pemandangan ini saya lihat ketika saya mengunjungi daerah Nusa Tenggara beberapa waktu lalu atas undangan Kepala Dinas Pertanian Propinsi NTT. Di sana saya lihat ratusan hektar hutan melinjo belum dimanfaatkan lantaran keterbatasan sumber daya manusia.
Yang tak kalah menarik adalah semangat para pemuda Desa Honug (kecamatannya saya lupa) yang begitu bersemangat mengikuti pelatihan pembuatan emping. Mereka rela jalan kaki menyusuri hutan belantara selama dua hari dua malam hanya untuk belajar bagaimana cara membuat emping. Sungguh mengharukan.
Senin, 06 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Saya hanya bisa berdoa agar suatu saat nanti akan ada investor datang ke NTT untuk mengembangkan produk emping.
Posting Komentar